GuestBook

Wednesday, July 25, 2007

Rudi

Rudi
Rudi

PENGEMBANGAN CIVIL SOCIETY ; Karakteristik, Masalah, dan Pilar Penegak civil Society

Tulisan ini telah diperlombakan pada Lomba Karya Tulis Mahasiswa (LKTM) yang diadakan
Pada Tingkat Fakultas (ISIP) USU Juara 1 Bidang IPS
Pada Tingkat Universitas (USU) Juara 2 Bidang IPS

Catatan : Diperkenankan mengutip ide gagasan didalam tulisan ini, dengan konsekuensi mencantumkan nama kedua penulis di daftar pustaka maupun di catatan kaki. terima-kasih atas kerjasamanya


PENGEMBANGAN CIVIL SOCIETY
Karakteristik, Masalah, dan Pilar Penegak civil Society



oleh

Novembry Yusuf Simanjuntak (030906069)
Rudi Salam Sinaga (030906082)













DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007









I. PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia, wacana tentang civil society ramai dibicarakan pada pertengahan tahun 90-an. Pada saat kekuasaan rezim Suharto mencapai puncak kejayaanya, pada saat itu pembahasan tentang civil society menjadi sangat relevan karena dikaitkan dengan sistem pemerintahan yang bersifat otoriter. Dimana pada saat itu juga kekuatan negara terlalu besar bila dibandingkan dengan kekuatan rakyat. Civil society kemudian dibahas diberbagai seminar-seminar hingga muncullah interpretasi tentangnya, sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan yang memberi interpretasi.[1]
Adanya beberapa kasus yang berkenaan dengan penindasan rakyat yang sering dilakukan oleh penguasa merupakan realitas yang sering kita lihat dan kita dengar dalam setiap pemberitaan pers. Baik melalui media elektronika maupun media cetak. Sebut saja salah satu contoh penindasan yang terjadi di Indonesia ketika orde baru berkuasa yakni penindasan terhadap keberadaan hak rakyat terhadap tanah yang diambil oleh penguasa dengan alasan pembangunan. Atau juga realitas pengekangan dan pembungkaman kebebasan pers dengan adanya pembredelan beberapa media massa oleh penguasa serta pembantaian para ulama dengan dalih dukun santet sekitar tahun 1999 yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.
Penculikan para aktivis pro demokrasi dan adanya pembatasan ruang publik (public Sphare) untuk mengemukakan pendapat di muka umum. Hal tersebut bisa dikaji pada perlunya sebuah kekuatan rakyat/masyarakat (sipil) dalam konteks interaksi-relationship, baik antara rakyat dengan negara, maupun antara rakyat dengan rakyat. Kedua pola hubungan interaktif tersebut akan memposisikan rakyat sebagai bagian integral dalam komunitas negara yang memiliki kekuatan bargaining dan menjadi komunitas masyarakat sipil yang memiliki kecerdasan, analisa kritis yang tajam serta mampu berinteraksi di lingkungannya secara demokratis dan berkeadaban.
Kemungkinan akan adanya kekuatan sipil sebagai bagian dari komunitas bangsa ini akan mengantarkan pada sebuah wacana yang saat ini sedang berkembang, yakni masyarakat madani. Wacana masyarakat madani ini, merupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat barat modern, yang saat itu lebih dikenal dengan istilah civil society. Dalam tradisi Eropa sekitar pertengahan abad XVIII, pengertian civil society dianggap sama dengan pengertian negara (state) yakni satu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh kelompok masyarakat lain.
Akan tetapi pada ujung abad XVIII, terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial dan perubahan-perubahan struktur politik di eropa sebagai pencerahan dan moderenisasi dalam menghadapi persoalan duniawi. Dalam mendefenisikan term masyarakat madani ini sangat bergantung pada kondisi sosio-kultural suatu bangsa, karena bagaimanapun konsep masyarakat madani merupakan bangunan term yang lahir dari sejarah pergulatan bangsa eropa barat.
Kelompok Islam misalnya, memberi makna civil society sebagai masyarakat madani, kelompok LSM yang tidak terlalu akur dengan militer memaknainya sebagai masyarakat sipil. Sedangkan kelompok ilmuwan tertentu memaknainya sebagai masyarakat warga atau masyarakat kewargaan, kontroversi juga muncul diantara kelompok yang mengagungkan civil society sebagai jalan keluar dari satu sistem politik yang tidak adil. Runtuhnya rezim otoritarian suharto, menyebabkan wacana tentang civil society seakan-akan kehilangan dasar pijak untuk dibicarakan kembali, namun jika civil society hanya dipakai sebagai suatu alat analisa politik maka wacana tersebut menjadi sangat relevan untuk dibicarakan.
Perkembangan politik di Indonesia pada akhir-akhir ini nampak sangat memikat untuk terus-menerus dibicarakan. Sejumlah pengamat , pakar politik dan negarawan hampir setiap hari muncul di media massa. Masyarakat memperoleh banyak pemahaman tentang politik nasional di Indonesia, namun sebagian juga menjadi bingung dan muak. Semua permasalahan politik selalu dikaitkan dengan perubahan kekuasaan diaras pusat.
Tulisan ini dibuat untuk mengetahui sejauh mana perkembangan masyarakat sipil di Indonesia serta juga ingin melihat apakah masyarakat sipil itu berperan dalam konteks hubungan antar negara dan masyarakat. Dalam melihat perkembangan masyarakat sipil itu, harus dilihat apa saja lembaga atau badan yang dapat mengembangkannya. Supremasi hukum dan sistem hukumnya menjadi sebuah perjuangan untuk mewujudkan sebuah civil society, partai politik yang dapat menyuarakan aspirasi rakyat sebagai bagian dari praktek dan pelaksanaan demokrasi langsung juga menjadi sebuah syarat yang diperlukan untuk mewujudkan civil society. Selain itu juga pers yang bertanggung jawab, dan peran dari pada LSM merupakan sumbu untuk menyalakan api masyarakat sipil. Tidak ketinggalan upaya untuk meninggalkan cara-cara lama serta pelaksanaan pendidikan politik di tingkatan masyarakat juga diperlukan.


1.2. Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan sebuah permasalahan yang akan dikaji dalam pembahasan di dalam tulisan ini. Adapun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana pengembangan dan penguatan masyarakat sipil di Indonesia, dan lembaga-lembaga apakah yang berpotensi untuk mengembangkan dan menegakkannya?.


1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan dilaksanakan penulisan ini adalah
1. Untuk mengetahui bagaimana mengembangkan dan menegakkan masyarakat sipil (civil Society).
2. Lembaga-lembaga apa saja yang dapat mengembangkan masyarakat sipil itu.

Manfaat yang dapat diambil adalah
1. Mengetahui cara mengembangkan masyarakat sipil di Indonesia.
2. Mengetahui pentingnya sebuah penegakan masyarakat sipil.
3. Mengetahui apa peran masyarakat dalam hubungan negara dan masyarakat.
4. Mengetahui lembaga apa saja yang dapat mengembangkan masyarakat sipil tersebut.


II. TELAAH PUSTAKA

Sejarah kehidupan masyarakat di muka bumi ini dimulai dari perkembangan masyarakatnya yang hidup secara komunal atau bersama-sama. Kehidupan yang seperti itu mengisyaratkan bahwa manusia yang ada dalam kehidupan kolektif itu bersama-sama hidup dan mengatur rumah tangganya bersama.
Selanjutnya dalam kehidupan manusia yang kolektif itu terdapat keadaan alamiah atau yang disebut oleh John Locke sebagai State Of Nature. Dalam keadaan alamiah yang dikemukakan oleh Locke itu sebenarnya jauh dari apa yang disebut oleh Thomas Hobbes yaitu kondisi diamana manusia saling memerangi dan melukai, membunuh sesama.[2]
Keadaan alamiah yang disebut oleh Locke tidak lain adalah merupakan penjelasan mengenai kehidupan manusia-manusia primitif (the life of savages) yang tidak memerlukan polisi atau pengendalian karena mereka hidup dalam keadaan alamiah itu daitur oleh akal budi .[3] Hal itu disebabkan karena menurutnya, akal selalu membuat manusia berperilaku rasional dan tidak merugikan manusia lain . Nalar yang merupakan hukum, melarang perusakan barang orang lain, ini karena akal budi tidak lain adalah hukum alam yang dikatakannya bersifat ketuhanan.
Namun kemudian keadaan alamiah itu berubah semenjak manusia menemukan sebuah sistem moneter. Sebelum ditemukannya uang, perbedaan kekayaan manusia tidak begitu mencolok sebab orang tidak akan mengumpulkan benda-benda kebutuhan hidupnya melebihi apa yang dibutuhkan dan dikonsumsinya. Hal ini kemudian berubah setelah manusia menemukan uang. Dengan ditemukannya uang, manusia bisa berproduksi material melebihi kebutuhannya. Dalam keadaan seperti inilah tidak ada lagi keharmonisan maka terjadi kemudian kekacauan karena ada orang yang kaya dan ada orang yang miskin.
Untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kedamaian dan juga semacam proteksi atas diri dan kekayaan material, maka timbul keinginan manusia untuk membuat perjanjian sosial (social Contract). Dalam perjanjian sosial itu individu sepakat untuk menyerahkan sebagian hak-hak alamiahnya kepada suatu lembaga kekuasaan berupa kekuasaan tertinggi yaitu negara atau masyarakat politik. [4] Atas dasar itulah negara dibentuk semata-mata untuk menjaga harta dan jiwa individu yang setiap saat terancam bila keadaan alamiah tetap dipertahankan.
Dalam hal seperti itulah memang negara diperlukan untuk melindungi manusia yang sepakat untuk membentuknya, agar nantinya ada keteraturan dalam kehidupan tersebut dan ada hukum yang mengatur setiap masyarakat. Perlu diketahui bahwa negara itu dibentuk karena adanya kesepakatan bersama oleh masyarakat yang ada didalamnya.
Kemudian masyarakat yang telah sepakat untuk membentuk negara, memiliki hubungan yang timbal balik antar keduanya yaitu warga dan negara. John Locke meyebutkan bahwa negara sebagai kekuasaan yang bermula dari suatu produk perjanjian sosial warga sehingga kekuasaan tersebut tidaklah bersifat bebas dan otonom ketika dihadapkan dengan aspirasi yang menjadi kehendak rakyat. Hubungan negara dan warga pada teori ini menempatkan negara sebagai pemegang mandat, mandat tersebut berasal dari warganya untuk dapat melakukan pengaturan bagi warga secara keseluruhan. Sementara pandangan Hobbes tentang konsep negara ialah negara dan kekuasan tercipta dari sebuah perjanjian sosial dari warganya yang kemudian bagi Hobbes kekuasaan yang ada pada negara menjadi entitas politik yang unik dan mutlak terlepas dari intervensi apapun.
Menurutnya lagi, negara dalam hal ini bisa berbuat apapun sesuai dengan apa yang dikehendakinya tanpa perlu mempertimbangkan apakah tindakan dan logika kekuasaannya sesuai atau tidak sesuai dengan kehendak dan aspirasi rakyat. Hobbes memutlakkan kekuasaan negara.[5] Negara versi Hobbes memiliki kekuasaan mutlak, kekuasaannya tidak boleh terbelah. Kekuasaan terbelah akan mengakibatkan timbulnya anarki, perang sipil, atau perang agama dalam negara.
Lebih jauh dia mengatakan penyerahan kekuasaan kepada negara:
Saya wewenangkan dan menyerahkan hak saya atas pengaturan diri saya kepada orang ini atau kepada sekumpulan orang ini, dengan syarat ini bahwa anda melepas hak anda kepadanya dan wewenangkan semua tindakannya dalam perilaku yang sama[6]

Dalam pandangan ini Hobbes melukiskan bahwa peran negara disini adalah mempunyai dominasi yang mutlak terhadap warga negaranya. Hal itu berbeda sekali dengan konsepsi Locke yang mengindikasikan adanya konsepsi masyarakat sipil. Menurutnya negara hanya dibenarkan bertindak dan berbuat sejauh bertujuan untuk melaksanakan tujuan yang dikehendaki rakyat negara tidak dibenarkan mencampuri segala hal yang menyangkut kepentingan rakyat. Peran negara dalam mengatur kehidupan harus dibatasi seminimal mungkin.
Dominasi negara yang dominan dalam mengatur rakyat menurut Locke hanya akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat dan ketidakberdayaan rakyat menghadapi kekuasaan negara. Kepentingan negara, atas dasar apapun tidak bisa menghilangkan hak-hak individual ini. Dia percaya bahwa setiap manusia atau individu mempunyai hak-hak dasariah yang tidak bisa diganggu gugat dan keberadaan hak-hak itu mendahului penetapan oleh masyarakat atau negara.
Negara yang terlalu banyak mencampuri persoalan individu akan mudah tergoda untuk menguasai seluruh aspek kehidupan masyarakat sehingga ruang gerak individu untuk mengekspresikan kebebasannya menjadi sangat terbatas. Seandainya itu terjadi berarti telah terjadi penyimpangan terhadap prinsip dasar terbentukmya negara. Locke sebenarnya sudah menegaskan bahwa tujuan dasar dibentuknya kekuasaan politik adalah untuk melindungi dan menjaga kebebasan sipil.[7] Dalam konsep seperti inilah timbul apa yang dinamakan dengan masyarakat sipil atau masyarakat madani.[8]
Indonesia, negara yang juga menitikberatkan peran negara dalam hubungannya dengan masyarakat tidak terlepas dari perkembangan konsepsi masyarakat sipil. Banyak wacana dalam negara ini yang mengangkat tema masyarakat madani atau masyarakat sipil. Hal ini disebabkan karena negara ini adalah masih dalam sebuah kondisi menuju demokrasi. Suatu sistem politik yang didalamnya dapat tumbuh subur masyarakat sipil.


2.1. Sejarah dan perkembangan masyarakat madani

Untuk memahami masyarakat madani terlebih dahulu harus dibangun paradigma bahwa konsep masyarakat sipil ini bukan merupakan suatu konsep yang sudah final ataupun jadi. Haruslah dilihat secara analisis historik.
Seperti dikemukakan diatas, bahwa wacana masyarakat sipil merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah Eropa barat yang mengalami proses transformasi dari pola kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Jika dicari akar sejarahnya dari awal, maka perkembangan wacana civil society dapat dirunut dari mulai Cicerrro sampai Antonio Gramsci, bahkan menurut Dawam Rahardjo, wacana civil society sudah mengemuka pada masa Aristoteles.
Pada masa ini masyarakat madani dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi politik dan pengambilan keputusan. [9] Istilah koinonia politike yang dikemukaan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politik dan etos dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.
Konsepsi Aristoteles ini diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dengan istilah societies civilies, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Term yang dikedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat madani yang aksentuasinya pada sistem kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M) dan Jhon Locke (1632-1704). Bagi Hobbes, masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak, agar mampu sepenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (prilaku politik) setiap warga negara. Konsekuensinya adalah, masyarakat madani tidak boleh absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak bisa dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Tahun 1767, wacana masyarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Ferguson dengan mengambil konteks sosio-kultural dan politik Skotlandia. Ferguson menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu. Dengan konsep ini, Ferguson berharap bahwa publik memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali despotisme, karena dalam masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen moral dan sikap saling menyayangi dan mempercayai antar warganegara secara alamiah. Tahun 1792, muncul wacana masyarakat madani yang memiliki aksentuasi yang berbeda dengan yang sebelumnya, konsep ini dimunculkan oleh Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan negara. Bahkan dianggap olehnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan demikian, maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum.[10]
Dengan demikian maka masyarakat madani menurut Paine ini adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Dia mengidealkan sebuah ruang gerak yang menjadi domain masyarakat, dimana intervensi negara di dalamnya merupakan aktivitas yang tidak sah dan tidak dibenarkan. Oleh karenanya, maka mayarakat madani harus lebih kuat dan mampu mengontrol negara demi kebutuhannya.
Perkembangan civil society selanjutnya dikembangkan oleh Hegel, Karl Marx dan Gramsci. Wacana masyarakat madani yang dikembangkan sebagai elemen ideologi kelas dominan. Menurut Hegel, masyarakat madani merupakan subordinasi dari negara. Pertumbuhannya ditandai dengan perjuangan melepaskan diri dari dominasi negara. Lain halnya dengan Karl Marx yang memahami masyarakat madani sebagai “masyarakat borjuis” [11] dalam konteks hubungan produksi kapitalis., keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Sementara itu Antonio Gramsci tidak memahami masyarakat madani sebagai relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideal, maka Gramsci meletakkannya pada superstruktur, berdampingan dengan negara yang dia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat perebutan hegemoni, mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsensus dalam masyarakat.
Konsepsi ini lebih diperkaya lagi oleh Hannah Arendt dan Jurgen Habermas yang menekankan ruang publik yang bebas (The free Public Sphere). Karena adanya ruang publik yang bebaslah, maka individu dapat menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mempublikasikan penerbitan yang berkenaan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Dan sebagai lembaga dari ruang publik ini adalah ditandai dengan lembaga-lembaga volunteer, media massa, sekolah, partai politik sampai pada lembaga yang dibentuk negara tetapi berfungsi sebagai pelayan masyarakat.


2.2. Istilah dalam civil society

Istilah masyarakat madani merupakan penerjemahan kedalam bahasa indonesia dengan padanan kata civil society. Disamping masyarakat madani, padanan kata lainnya adalah masyarakat warga, atau masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab, atau masyarakat berbudaya. Secara sosiologis, istilah society adalah masyarakat dalam bahasa indonesia. Istilah civil society ada yang mengartikannya dengan masyarakat berbudaya (civilized society) lawannya adalah ‘masyarakat liar’(savage society. Mendekati pengertian masyarakat berbudaya, terjemahan lain yang juga sering digunakan adalah masyarakat madani. Dibanding istilah lainnya istialah ini yang paling populer dan banyak digandrungi di indonesia. Madani merujuk pada kata ‘madinah’ sebuah kota di Yastrib wilayah Arab, dimana syariat islam dibawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di masa lalu pernah membangun peradaban tinggi. Menurut Nurcholis Madjid, kata ‘madinah’ berasal dari bahasa Arab Madaniyah yang berarti peradaban karena itu masyarakat madani berasosiasi “masyarakat beradab”.[12]
Istialah civil society juga terkadang diterjemahkan secara gamblang sebagai masyarakat sipil. Apapun itu, yang harus digaris bawahi adalah masyarakat madani adalah sebuah konsep yang penting, yaitu terdapatnya keinginan dan tuntutuan untuk membangun masyarakat yang mampu berkreasi secara maksimal, mampu menyerap nilai-nilai demokrasi secara konkrit , dan harapan akan terciptanya sistem politik dan pemerintahan demokratis dari waktu ke waktu. Karena, salah satu ide penting yang melekat dalam konsep civil society adalah keinginan memperbaiki kualitas hubungan antara masyarakat dengan institusi sosial yang berada pada: sektor publik (pemerintah dan partai politik), sektor swasta (pelaku bisnis) dan sektor sukarela (lembaga swadaya masyarakat, organisasi keagamaan dan kelompok profesional).[13]
Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih simetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi. Dasar asumsinya adalah apabila negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan stagnant atau berjalan di tempat. Secara ekonomis, melalui konsep civil society dapat dibangun kegiatan dan hubungan ekonomi yang menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang melekat di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada manipulasi, juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Kemudian secara sosial, melalui civil society dapat dibangun keseimbangan kedudukan dan peran orang sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat, atau keseimbangan antara individual participation dan social obligations. Dalam konteks ini, konsep civil society kurang lebih sama dengan pengertian gemeinschaft (paguyuban)[14] atau mezzo-structures yaitu bentuk pengelompokan sosial yang lebih kompleks daripada bentuk keluarga tetapi juga tidak terlalu kaku, tidak terlalu formal, seperti lazim dikembangkan oleh negara. Pesan ideologis yang terendap di dalamnya adalah memerdekakan orang atau menumbangkan berbagai bentuk penjajahan terhadap kehidupan manusia, sehingga dapat dibangun solidaritas sosial, atau perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan.[15]
Kelahiran ide civil society kelihatan sebagai bagian dari sebuah kesadaran bahwa menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial melalui negara ternyata tidak sederhana. Benar memang ada sejumlah negara yang sangat memperhatikan kepentingan masyarakat, tetapi berbagai bukti memperlihatkan bahwa sejumlah negara justru menempatkan masyarakat pada posisi inferior dan menjadi sapi perahan. Kehidupan masyarakat menjadi semakin sengsara ketika institusi birokrasi dan institusi politik yang seharusnya berperan menghadirkan kesejahteraan dan keadilan sosial tersebut didominasi dan ditentukan oleh kemauan rejim yang berkuasa (the ruling class).
Ketika kedudukan rejim yang berkuasa terlalu dominan, institusi birokrasi tidak dapat secara optimal melayani publik, karena selalu memperoleh berbagai macam tekanan. Keadaannya menjadi semakin runyam ketika rejim yang berkuasa tersebut mencanangkan strategi ‘politisasi birokrasi’ yang menempatkan para birokrat menjadi aparat yang harus loyal pada reejim. Kondisi ini selanjutnya membuat birokrat tidak mampu mengendalikan kemauan dan mengontrol kegiatan rejim berkuasa, sebaliknya mereka justru menjadi perpanjangan tangan rejim tersebut. Para birokrat tidak netral, dan dalam segala tindakannya lebih mengutamakan kemauan rejim dari pada kepentingan masyarakat. Kekuasaan rejim yang sangat kuat juga dapat membuat institusi politik menjadi mandul. Partai-partai politik yang dalam sistim demokrasi seharusnya membentuk pemerintahan, tidak memiliki ruang gerak politik. Kedudukan partai politik berada di bawah binaan rejim dan harus mengikuti keinginannya. Kongres partai politik difasilitasi oleh rejim, dan pimpinan partai politik yang terpilih harus sesuai dengan pesan rejim itu. Dalam kondisi demikian sukar sekali melahirkan politisi yang handal atau yang dapat memperjuangkan kepentingan masyarakat, karena politisi atau kader politik yang kritis terhadap kebijaksanaan rejim selalu dianggap nakal, dianggap tidak loyal dan karena itu harus disingkirkan dari percaturan politik. Kekuasaan negara yang sangat kuat juga menciptakan institusi bisnis tidak mampu menggerakan kegiatan ekonomi secara optimal.
Negara bisa menentukan besaran modal dan pasar. Besaran dana yang harus dikucurkan juga sangat tergantung pada kemurahan hati rejim yang berkuasa. Bahkan rejim semacam itu kerapkali mengembangkan bisnis keluarga, yang kemudian mendominasi kegiatan ekonomi atau memonopoli sektor yang tergolong strategis. Dengan demikian, pembahasan masalah civil society terkait dengan persoalan eksistensi hak, peluang dan kemampuan masyarakat. Pembahasan masalah civil society terkait dengan upaya menegakkan kembali the civil rights atau menciptakan masyarakat yang di sana negara tidak lagi maha atau adi kuasa. Meskipun demikian bukan berarti bahwa civil society mengembalikan keadaan menjadi natural society, yang ketika itu tidak ada negara. Civil society tetap memandang penting kehadiran negara. Hanya saja tidak seperti pada political society yang meletakkan peran negara pada posisi yang sangat dominan atau adi kuasa, civil society berusaha menciptakan interaksi antara negara dan masyarakat dilekati interdependensi, saling mengisi dan saling menguntungkan satu sama lain. Nilai penting yang melekat dalam civil society adalah partisipasi politik dalam arti peran masyarakat sangat diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan publik atau masyarakat dapat mewarnai keputusan publik. Di samping itu juga ada akuntabilitas negara (state accountability) dalam arti negara harus bisa memperlihatkan kepada masyarakat bahwa kebijakan publik yang diambil sesuai dengan ketentuan yang berlaku, efisien (mengeluarkan resources secara porposional dengan hasil optimal) dan efektif (tidak merusak atau bertentangan dengan nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat).[16]
Selanjutnya, ide civil society menghendaki institusi-institusi yang berada pada sektor publik, sektor swasta maupun sektor sukarela adalah berbentuk forum-forum yang representatif atau berupa asosiasi-asosiasi yang jelas arahnya dan dapat dikontrol. Forum atau asosiasi semacam itu bersifat terbuka, inklusif dan harus ditempatkan sebagai mimbar masyarakat mengekspresikan keinginannya. Melalui forum atau asosiasi semacam itu civil society menjamin adanya kebebasan mimbar, kebebasan melakukan disiminasi atau penyebar luasan opini publik. Itulah sebabnya seringkali dinyatakan bahwa civil society adalah awal kondisi yang sangat vital bagi eksistensi demokrasi. Kendatipun karakteristik civil society bertentangan dengan karakteristik political society (yang menempatkan negara pada posisi sentral), namun tidak berarti bahwa civil society harus selalu melawan negara atau harus menghilangkan rambu-rambu politik yang telah dibangun oleh negara, jadi status dan peran negara tetap diperlukan.



2.3. Karakteristik Masyarakat Madani

Penyebutan karakteristik masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan bahwa dalam merealisasikan wacana masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal daam penegakkan masyarakat madani. Prasyarat ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya atau hanya mengambil satunya saja, melainkan merupakan satu kesatuan yang integral yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi masyarakat madani. Karakteristik tersebut antara lain adalah adanya Free Public Sphere, Demokratis, Toleransi, Pluralisme, Keadilan social (social Justice) dan berkeadaban.[17]
Free Public Sphere
Free Public Sphere adalah adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat, Artinya pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhwatiran.
Demokratis
Demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, demokrasi berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, agama. Penekanan demokrasi (Demokratis) disini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan seperti politik, sosial, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.
Toleransi
Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.
Pluralisme
Pluralisme dipahami secara mengakar dengan menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang menghargai dan menerima kemajemukan dalam konteks kehidupan sehari-hari, pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai yang bernilai positif dan merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Esa.
Keadilan Sosial (Social Justice)
Keadilan dimaksudkan disini ialah untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan tidak adanya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat.


2.4. Hambatan dalam pengembangan Civil Society

Institusi birokrasi publik kita sebenarnya adalah warisan produk kolonial Belanda yang pada awalnya lebih melembagakan hirarki pengelolaan melalui konsentrasi fungsi politik dan fungsi administrasi. Ketika itu Belanda mengembangkan sistim pemerintahan yang sangat sentralistis. Karena itu meskipun lapisan atas pribumi (bangsawan) diberi kesempatan duduk dalam tapuk pemerintahan di tingkat lokal, namun berbagai keputusan publik yang dianggap krusial tetap di bawah kendali atau atas persetujuaan kolonial Belanda. Dengan kata lain birokrasi publik pada saat itu bersifat patrimonial dan lebih mementingkan kehendak atasan daripada aspirasi anggota masyarakat.[18]
Rekruitmen aparat birokrasi juga tidak berdasarkan motivasi dan kapabilitas, tetapi lebih di dasarkan pada kombinasi kinship dan ikatan personal, jadi kurang mengedapankan faktor kemampuan atau prestasi. Belanda memang memberi kesempatan institusi-institusi tradisional (lokal) untuk ikut berpartisipasi mengatur kebutuhan publik, namun Belanda tidak pernah memberikan pendidikan politik yang baik. Belanda misalnya tidak pernah menciptakan situasi kondusif bagi berkembangnya kelompok-kelompok kepentingan dan partai politik yang bisa mengontrol kekuasaan birokrat. Seperti telah banyak didiskusikan, sistim pemerintahan yang berkembang selama ini sangat sentralistis. Pilihan strategi ini pada awalnya berkaitan dengan keinginan untuk menciptakan stabilitas ekonomi secara menyeluruh dan pertumbuhan ekonomi secara cepat dalam semua sektor dengan dukungan dana dari luar negeri, termasuk pinjaman dengan bunga lunak.
Tantangan ekonomi di dalam negeri pada saat itu, antara lain hiperinflasi, tidak ada cadangan devisa negara, anggaran belanja negara yang selalu defisit, mahal sandang papan, dan sulit dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan konsumsi sehari-hari. Sejak awal tahun 1970-an, pemerintah juga berusaha keras menguasai pemerintahan di semua level (pusat, provinsi, kabupaten sampai desa). Dengan cara demikian harapannya adalah membalik arah semua kebijaksanaan Presiden Soekarno di bawah panji demokrasi terpimpin. Pendulum politik dan ekonomi dicoba digerakan pada arah yang sangat berlawanan, dengan dukungan kekuatan militer. Meskipun proses perjalanannya tidak smooth, namun dirasakan sangat tepat, karena dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat mengatasi krisis ekonomi dan politik. Bantuan dari negara-negara barat terus mengalir. Pinjaman dana dengan bunga lunak dari berbagai macam lembaga dan badan internasional berdatangan. Kondisi ekonomi di dalam negeri membaik.
Laju inflasi yang pada pertengahan tahun 1960-an mencapai lebih dari 600% dapat ditekan menjadi sekitar 15%. Kebutuhan pangan tercukupi, paceklik dapat teratasi dan penyakit busung lapar tidak pernah terdengar lagi. Kendatipun begitu, namum masalah ekonomi sebenarnya tidak seutuhnya dapat terjawab, sebab akibat masuknya barang-barang impor (yang terkait dengan program stabilisasi ekonomi) telah merusak pasar produksi dalam negeri. Pada saat itu cukup banyak jumlah pengusaha pribumi yang kemudian bangkrut dan gulung tikar akibat kalah bersaing. Sejak akhir tahun 1960-an, pemerintah juga mencanangkan pembinaan politik yang bebas dari pertentangan ideologi. Pembinaan politik ketika itu lebih berlandaskan pada pemikiran yang pragmatis. Pemerintah dengan sangat efektif membenahi birokrasi sipil, baik tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten. Dengan pertimbangan efisiensi dan efektifitas pembangunan, pemerintah pusat mengontrol dan mengendalikan segala macam aktifitas yang ada di provinsi dan kabupaten.
Sedangkan pemerintah daerah tinggal melaksanakan kehendak pemerintah pusat dan harus selalu tanggap terhadap segala bentuk perintah dan pengarahan yang diberikan. Dalam upaya mendukung sentralisme atau sistim konsentrasi kekuasaan, pemerintah membangun politisasi birokrasi publik. Birokrasi publik, baik di tingkat pusat maupun daerah tidak netral dari politik kepartaian atau menjadi bagian subordinasi dari rejim politik yang berkuasa. Birokrat terhimpun dalam wadah Korpri, sebuah organisasi yang harus loyal kepada rejim yang berkuasa. Pemerintah memang tidak melarang birokrat aktif dalam politik, tetapi mereka harus menyalurkan aspirasi politiknya pada partai rejim yang berkuasa. Mereka bersikukuh menyalurkan aspirasi politiknya pada partai lain harus rela melepaskan statusnya sebagai birokrat.
Kondisi demikian pada awalnya dimaksudkan untuk meredakan konflik-konflik politik internal di antara para birokrat, tetapi pada perkembangannya justru menciptakan bentuk pelayanan yang tidak adil dan berkembangnya birokrasi yang bersifat partisan. Para birokrat sangat sulit menolak keinginan rejim politik yang berkuasa, meskipun seringkali harus mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Implikasi penting dari politisasi birokrasi publik secamam itu adalah bukan hanya posisi birokrat menjadi sangat marginal dan tidak memiliki ‘bargaining power’, tetapi juga telah melembagakan hubungan ‘kekeluargaan’ (dalam arti negatif) pada proses promosi dalam organisasi birokrasi publik.
Selama ini para birokrat, terutama di daerah, kebanyakan masih berfungsi sebagai ‘pencerita’ tentang apa yang dilakukan rejim yang berkuasa, pemberi informasi kepada masyarakat tentang program-program yang menjadi prioritas rejim yang berkuasa, atau malah seringkali menjadi pembujuk masyarakat agar mereka percaya terhadap apa yang dilakukan oleh rejim yang berkuasa. Bahkan birokrasi publik di daerah selama ini telah terjebak menjadi aparat yang menyebabkan arus komunikasi tidak lancar dan terbuka. Para birokrat kita secara berlebihan melakukan peran pengontrol informasi, sehingga informasi yang terartikulasi adalah informasi seperti keinginan rejim yang berkuasa. Segala bentuk strategi pembangunan ekonomi dan politik yang dipilih oleh rejim yang berkuasa dianggap serba baik, serba aman, serba sukses, padahal masyarakat luas tahu bahwa strategi tersebut tidak mendatangkan keadilan, kemandirian dan kesejahteraan.
Seperti telah disebutkan di depan posisi birokrat menjadi sangat marginal dan hampir tidak memiliki ‘bargaining power’. Di depan telah diungkapkan pula bahwa dalam organisasi birokrasi publik kita telah terjadi pelembagaan hubungan ‘kekeluargaan’ (dalam pandangan negatif) pada proses promosi. Dalam organisasi birokrasi seharusnya lebih mengutamakan kemampuan karena bekerjanya mesin birokrasi memang dioperasikan dengan prinsip spesialisasi. Penempatan orang pada posisi tertentu yang tidak mengindahkan prinsip spesialisasi akan menciptakan stagnasi. Tetapi dalam kenyataannya promosi untuk menempati posisi-posisi penting dalam organisasi birokrasi publik lebih banyak didasarkan koneksi dari pada prestasi.
Apa yang kemudian banyak dilakukan oleh para birokrat adalah membangun jaringan informal dan sentimen pribadi melalui jargon agama, suku atau daerah asal. Karena itu menjadi mudah dimengerti apabila kemudian di dalam tubuh institusi birokrasi publik kita tumbuh sebuah pseudo-gemeinchaft yaitu sebuah hubungan ‘paguyuban’ semu yang lebih banyak dimanfaatkan untuk meraih posisi strategis dalam organisasi sekaligus untuk melestarikan status quo. Prosedur resmi yang telah diciptakan untuk mengatur promosi tidak jelas, kalah atau tertindih oleh kesepakatan yang dibangun di luar sistim.
Selama pemerintahan Orde Baru berkuasa, DPRD belum dapat berfungsi secara efektif dan berperan secara optimal menyalurkan aspirasi masyarakat. DPRD dalam posisi yang sangat lemah, hampir tidak mampu menggunakan hak-hak yang dimiliki dan kedudukan mereka di bawah kekuatan eksekutif. Dalam menyampaikan hak anggaran, hak mengajukan pertanyaan atau hak minta keterangan biasanya memang bisa lantang. Tetapi dalam menyampaikan hak melakukan perubahan, hak menyampaikan pendapat dan prakarsa serta hak penyelidikan dinilai tidak pernah optimal. Kondisi semacam itu kemudian melahirkan hubungan antara eksekutif dan legislatif di daerah banyak diwarnai sifat interaksi superordinasi-subordinasi. Kedua institusi tersebut tidak pernah berdiri sejajar, sehingga mudah dimengerti apabila badan legislatif sukar melakukan fungsi kontrol pada kebijaksanaan publik yang diintroduksi oleh eksekutif.
Harapan agar DPRD menjadi mintra Pemerintah Daerah dan memiliki kedudukan serta kesempatan yang sama dalam proses pengambilan keputusan-keputusan krusial yang berdampak luas bagi masyarakat hanyalah jargon politik yang sukar sekali diwujudkan. Terus mengalirnya protes dan pengaduan masyarakat ke DPR pusat pada saat itu adalah salah satu bukti nyata bahwa DPRD memang tidak bisa banyak diharapkan peran politiknya. Sudah jelas bukan berarti bahwa semua anggota DPRD mandul dalam proses pengambilan keputusan, tetapi bahwa eksekutif lebih dominan daripada legislatif yang hampir terjadi di semua daerah. Para anggota DPRD hanya terlibat dalam proses formulasi keputusan, tetapi kurang diperhitungkan dalam proses eksekusi keputusan.
Prinsip-prinsip seperti dikehendaki oleh ide civil society (seperti: tidak ada pemaksaan kehendak, tidak ada monopoli, tidak ada manipulasi dan ada kemauan hidup dalam rasa sepenanggungan), ternyata masih belum dapat direalisasikan dengan baik. Kalangan tertentu ditengarai masih memiliki peluang memanfaatkan kekuasaannya, dan atas nama negara kalangan itu bisa melakukan hal-hal yang kurang terpuji. Hak-hak masyarakat belum utuh terlindungi, sehingga menempatkan masyarakat pada posisi yang inferior dan selalu tertekan. Era reformasi dan transisi Ketika negara sangat adi kuasa, atau dalam posisi yang sangat dominan dan meminggirkan masyarakat, bentuk respons yang berkembang dalam masyarakat terutama adalah penguatan dan idealisasi the private.
Pilihan strategi perjuangannya adalah melakukan gerakan moral, dengan menekankan diri pada kegiatan pembelaan, sehingga masyarakat dari segala bentuk penindasan. Kegiatan yang dilakukan antara lain adalah mengidentifikasi hak-hak masyarakat yang dirampas, kemudian membangun kesadaran bahwa hak-hak tersebut harus dikembalikan lagi. Dengan kata lain gerakan mereka adalah memberi tekanan pada membangun atensi, oleh karena itu persoalan claim kerapkali sangat ditonjolkan. Forum utama kegiatan semacam itu adalah media massa (baik cetak maupun elektronik), dan berusaha menempatkan diri sebagai broker yang menjembatai kemauan masyarakat dengan kepentingan pemerintah.
Di samping itu juga dibangun jaringan yang dapat memonitor isu-isu dan kasus-kasus aktual yang terjadi dalam masyarakat, sehingga berbagai bentuk tindakan yang dilakukan memiliki kadar visibilitas yang tinggi. Bersamaan dengan itu sebetulnya ada pula yang melakukan gerakan politik. Pilihan strategi perjuangannya adalah menciptakan aksi protes, memobilisasi dukungan masyarakat dan mencampuri urusan kekuasaan. Posisi yang dikembangkan bukan lagi sebagai broker, tetapi sebagai aktor politik.
Respons semacam itu memberikan indikasi bahwa kendatipun negara sangat kuat dan sangat determinan dalam proses pengambilan keputusan publik, namun sebenarnya tidak pernah mampu mematikan ide civil society. Itu berarti bahwa kendatipun kecil, di dalam masyarakat sebenarnya tetap tumbuh keinginan untuk merdeka, bebas dari segala bentuk penindasan, dan tetap ada kesadaran hidup dalam rasa sepenanggungan. Oleh karena itu, ide civil society sesungguhnya bisa hidup subur dalam kehidupan masyarakat kita, meskipun barangkali harus melewati jalan terjal dan membutuhkan waktu relatif lama. Kendalanya bukan hanya terletak pada institusi birokrasi atau institusi politik, melainkan juga pada ciri-ciri hubungan antara kedua institusi tersebut dengan pelaku bisnis, serta pada nilai-nilai sosial yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sendiri.
Berikut beberapa hal yang diperkirakan menjadi kendala membangun civil society di negeri ini. Pertama adalah masalah public trust, Selama ini institusi birokrasi publik kita bekerja hampir tidak disertai mekanisme kontrol eksternal baik dari pihak institusi politik (partai dan legislatif) maupun dari media massa dan kelompok kepentingan. Kalaupun dahulu pernah ada, kontrol eksternal itu lebih sering palsu, tidak jujur, dan hanyalah sebuah rekayasa untuk menyenangkan atau mengelabuhi masyarakat. Hal ini terjadi karena pada saat itu rejim yang berkuasa berada pada puncak strata, dan dengan sewenang-wenang memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki untuk kepentingan politiknya sendiri. Institusi birokrasi dan institusi politik tidak netral, tidak mampu melakukan fungsi kontrol, dan menjadi kepanjangan tangan rejim itu.
Oleh karena kontrol eksternal hampir tidak ada, maka rejim penguasa serta aparatur pemerintah di bawahnya sangat leluasa melakukan korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lain yang merugikan hak-hak masyarakat. Konsekuensi yang terlihat sekarang adalah terjadi apa yang lazim disebut public distrust yang membuat segala bentuk kebijakan pemerintah selalu dicurigai, sehingga sulit membangun komitmen anggota masyarakat. Benar memang pemerintah yang sekarang sudah memperoleh legitimasi yang kuat karena dipilih oleh rakyat melalui Pemilu yang cukup demokratis.
Tetapi karena masih banyak warisan masalah politik yang belum dapat diselesaikan dengan tuntas, maka masih sulit menciptakan public trust. Kedua adalah masalah clientelisme yang melekat dalam interaksi antara pemerintah dan pelaku bisnis atau pengusaha. Sedikitnya ada dua macam tipe pengusaha yaitu: (1) the client bourgeoisie atau pengusaha yang tumbuh besar dengan fasilitas yang diberikan pemerintah, dan (2) the entrepreneours atau pengusaha yang tumbuh dan berkembang atas etos dan kemampuannya sendiri. Selama ini yang berkembang adalah tipe pengusaha the client bourgeoisie, pengusaha tipe ini pada umumnya tidak memiliki skill yang baik dalam melakukan bisnis yang kompetitif. Mereka sangat tergantung pada kekuatan dan kemurahan penguasa, sehingga yang mereka kembangkan sebenarnya bukan nilai bisnis yang bisa mengembangkan usaha, tetapi lebih pada bagaimana mengembangkan hubungan baik dengan penguasa. Mereka sangat diuntungkan ketika penguasa memonopoli pasar dan berbagai perlakuan khusus dalam kegiatan bisnis.
Sebaliknya, tipe pengusaha yang kedua (the entrepreneours), kendatipun mereka memiliki skill yang cukup, namun mereka tidak mudah mengembangkan usahanya. Mereka selalu kalah bersaing kecuali harus menjadi bagian dari pemerintah, sebagaimana yang dilakukan oleh the client bourgeoisie. Pada era reformasi sekarang memang sudah mulai terjadi keterbukaan dalam dunia bisnis, tidak ada lagi monopoli yang berlebihan dari penguasa. Tetapi situasinya masih jauh dari yang diharapkan bagi terciptanya civil society, karena dunia bisnis kita sebenarnya masih banyak dikuasai oleh the client bourgeoisie tersebut. Ketiga adalah masalah patrimonalisme. Bentuk struktur kekuasaan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat kita adalah bersifat monolitik, di puncak strata ada sekelompok elit minoritas yang superior kemudian pada strata di bawahnya adalah kelompok massa mayoritas yang inferior. Kelompok elit sangat mendominasi berbagai keputusan-keputusan penting, sedangkan kelompok massa tidak berdaya dan hanya mengikuti kehendak kelompok elit.
Dalam kehidupan masyarakat kita menjadi semakin kompleks ketika warna patrimonialisme itu tidak hanya terkait dengan daerah melainkan juga dengan etnis dan agama. Dalam sifat hubungan semacam ini, di setiap daerah terdapat sejumlah pemimpin yang ditempatkan sebagai patron dalam berbagai macam persoalan politik. Apabila di daerah itu terdapat sejumlah etnis, maka akan diketemukan sejumlah pemimpin etnis yang seringkali juga ditempatkan sebagai patron dalam masalah politik.
Demikian pula apabila di daerah itu terdapat sejumlah agama, maka akan didapati pula sejumlah pemimpin agama yang kerapkali menjadi patron dalam masalah politik pula. Bentuk struktur kekuasaan semacam itu sangat sulit mengembangkan perbedaan pendapat dan kritik (termasuk kritik yang konstruktif). Perbedaan pendapat biasanya dianggap ancaman solidaritas dan kritik biasanya dianggap cerminan rendahnya loyalitas, padahal dua hal tersebut sebenarnya sangat dibutuhkan sekali bagi terciptanya civil society.


2.5. Lembaga dan pilar penegak civil society

Upaya apakah yang seharusnya kita lakukan untuk mengikis faktor-faktor tersebut, sehingga proses menciptakan civil society dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan? Tidak mudah menjawab persoalan ini. Namun akan dicoba beberapa alternatif dan juga lembaga penegak civil society yang dapat mengembangkan civil society, untuk selanjutnya dapat mengkikis faktor penghambat dan sekalaigus membuka jalan bagi tegaknya civil society. Adapun pilar penegak civil society itu adalah :
Lembaga Swadaya Masyarakat
Adalah instutisi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas dan esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi serta kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain itu, LSM dalam konteks masyarakat madani juga bertugas mengadakan pemberdayaan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti advokasi, pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.


Pers
Merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari sosial kontrol yang dapat menganalisa serta mempublikasikan sebagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya. Hal tersebut pada akhirnya mengarah pada adanya independensi pers serta mampu menyajikan berita secara objektif dan transparan.
Supremasi hukum
Setiap wara negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebgai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum. Hal tersebut berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara dan antara warga negara dengan pemerintahnya haruslah dilakukan dengna cara-cara yang damai dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Selain itu, supremasi hukum juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia, sehingga terpola bentuk kehiduapan yang civilized.

Perguruan tinggi
Yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagaian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan asiprasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut masih pada jalur yang benar dan memposisikan diri pada rel dan realitas yang betul-betul objektif, menyuarakan kepentingan masyarakat (public).
Partai Politik
Merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Sekalipun memiliki tendesi politis dan rawan akan hegemoni negara, tetapi bagaimanapun sebagai sebuah tempat ekspresi politik warga negara maka partai politik ini menjadi prasyarat bagi tegaknya civil society.
Pembanguanan public trust dan pelemahan Patrimonialisme
Untuk membangun public trust, antara lain harus ada komitmen semua pihak untuk menyelesaikan warisan masalah politik yang masih ada, terutama harus ada keberanian memberikan sangsi kepada biang keladi dari masalah politik tersebut. Untuk menghilangkan clientelism, antara lain harus ada transparansi dan mekanisme yang jelas dalam membangun akses pada modal dan pasar.
Untuk melemahkan patrimonialisme harus ada pendidikan politik yang memungkinkan setiap anggota masyarakat memperoleh hak-hak politiknya.


III. KESIMPULAN dan SARAN

3.1. Kesimpulan

Melalui uraian diatas, jelas tergambar pentingnya penegakan civil society dalam hubungannya antara negara dan masyarakat. Perlunya sebuah ruang publik yang bebas dan mandiri terlepas dari intervensi negara merupakan inti dari tegaknya civil society (masyarakat madani). Karena perkembangan masyarakat madani merupakan persyaratan demi terwujudnya negara dan masyarakat yang demokratis. Walaupun wacana civil society ini mulai berkembang pada tahun 90-an dimana Orde Baru dengan kediktatorannya dan sifatnya yang represif membungkam laju perkembangan civil society di Indonesia. Pada saat itu timbul pemikiran dan keinginan di benak para penggagas civil society untuk melakukan sebuah perubahan akan kondisi yang terjadi saat itu.
Secara politis, melalui konsep civil society dapat diciptakan bentuk hubungan yang kurang lebih semetris, sehingga kondusif bagi terciptanya demokrasi. Dasar asumsinya adalah apabila negara terlalu kuat, negara adi kuasa, tetapi masyarakat lemah, maka proses demokratisasi akan stagnant atau berjalan di tempat. Secara ekonomis, melalui konsep civil society dapat dibangun kegiatan dan hubungan ekonomi yang menciptakan kemandirian. Pesan ideologis yang melekat di dalamnya adalah tidak ada monopoli negara, tidak ada manipulasi, juga tidak ada dominasi pemilikan bagi kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah.
Dalam konteks penegakan masyarakat madani (civil society) ini ada beberapa hambatan yang dapat menghambat jalannya perkembangan masyarakat madani, adapun yang menjadi penghambat dalam tegaknya masyarakat madani itu adalah adanya warisan institusi publik kita yang berasal dari warisan kolionial, yang berujung pada ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap kinerja lembaga itu. Serta keseimbangan legislatif dan birokrasi yang tidak terjalin dapat dilihat dari indikasi sentralisme yang dilakukan pemerintah pada masa orde baru. Masalah clientisme yang dilakukan oleh Negara terhadap para clienties bourguise yang menghambat kemandirian dalam nelakukan aktivitas ekonomi oleh masyarakat yang mampu memiliki sumber daya dalam berekonomi. Belum lagi wajah primordialisme bangsa ini yang tercermin dalam perilaku patron politik oleh sekelompok elit lokal yang disebabkan oleh rendahnya pendidikan politik masyarakat dan ironisnya lagi, hal ini terus dipelihara sehingga tercipta sebuah budaya politik yang menjurus pada partisipasi yang bersifat mobilisatif.
Walaupun dalam meretas hambatan dalam pengembangan civil society tersebut ada pilar yang kiranya dapat terus dikembangkan seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Pers, Partai Politik, Perguruan Tinggi, serta adanya supremasi hukum yang jelas, namun sepertinya sebagian dari pilar tersebut justru mengarah kepada “penghambat” laju pengembangan civil society itu sendiri.
Lembaga swadaya Masyarakat misalnya, melalui penelitian yang dilakukan oleh Dr. Mansoer Fakih terhadap perkembangan LSM dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, menunjukkan bahwa di kalangan aktivis LSM sendiri masih adanya kegelisahan terhadap peran mereka dalam proses perubahan sosial bagi tercipanya civil society. Kegelisahan itu justru muncul dalam kekecewaan yang mempertanyakan misi, visi dan paradigma LSM itu sendiri tentang perubahan sosial. Belum lagi masalah internal partai politik yang belum menunjukkan kemanjuan dalam berdemokrasi yang tentunya dapat menghambat perkembangan civil society itu sendiri.
Walaupun sebagian dari LSM telah membuat sebuah perubahan yang berarti, seperti melakukan advokasi akan hak-haknya sebagai warga negara dan memberi pendidikan bagi masyarakat baik dalam bidang social, politik, ekonomi serta hukum. Tentu ini adalah langkah awal yang berarti demi terwujudnya civil society di negeri ini

3.2. Saran

Fakta yang terlihat jelas seperti diuraikan dalam kesimpulan diatas, tidak serta merta membuat keoptimisan kita terhadap perkembangan civil society di negeri ini. Kita harus senantiasa menunjukkan keoptimisan agar civil society berkembang di negeri ini. Menyikapi pentingnya penegakan masyarakat sipil (civil society) dalam sebuah negara, kami memberikan beberapa saran yang kiranya perlu untuk dibahas dan ditindak lanjuti.
Pengembangan public trust oleh lembaga legislatif yang diberikan kepada masyarakat melalui partai politik akan menjadi sebuah kondisi yang memungkinkan terciptanya civil society. Pelaksanaan fungsi partai politik oleh partai politik sesungguhnya sangat diidam-idamkan oleh masyarakat agar tercipta situasi dimana publik percaya terhadap institusi publik. Pengurangan campur tangan yang bersifat clientisme harus dikurangi oleh negara terhadap pelaku ekonomi agar masyarakat dan pelaku ekonomi dapat mandiri didalam melaksanakan kegiatan ekonomi mereka masing-masing.
Pentingnya sebuah pendidikan politik bagi masyarakat akan meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap kewajiban dan hak apa yang harus dilaksanakan dalam statusnya sebagai warga negara yang berhadapan dengan negara. Pendidikan politik yang benar akan menuntun dan memperbaiki budaya politik yang selama ini melekat dalam diri masyarakat Indonesia. Minimal dimulai dari pengetahuan politik yang benar.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) harus memposisikan diri sebagai lembaga yang mengawal proses perubahan sosial demi terwujudnya civil society. Posisi itu ditemukan dalam pembuatan visi dan misi yang jelas disertai program yang mendukungnya. Pelaksanaan dialog dan diskusi yang berkelanjutan akan membangkitkan pengetahuan dan kekritisan di kalangan aktivis LSM yang nantinya akan menaruh kepedulian terhadap proses perubahan sosial di negeri ini.
Perguruan tinggi dengan mahasiswa sebagai garis terdepannya, dituntut untuk senantiasa melakukan moral force dalam mengkritisi kebijakan pemerintah serta juga pers yang bebas secara sehat dalam memberitakan informasi yang dapat memupuk pengetahuan politik warga negara melalui fungsi edukasi dan sosialisasi informasi yang bersifat politis. Sehingga nantinya diharapkan akan tercipta sebuah tatanan masyarakat yang diidamkan yakni terciptanya masyarakat sipil Indonesia yang mandiri, sejahtera dan beradab.
Pandangan yang ditegaskan di sini adalah sebuah tawaran yang masih bersifat hipotetis dan debatable. Seberapa jauh tawaran pemikiran itu menyentuh persoalannya, mari kita diskusikan bersama.




IV. DAFTAR PUSTAKA


Buku

Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications Officer, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria.
Culla, Suryadi, A. 1999. Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori, dan Relevansinya Dengan Cita-Cita reformasi, Jakarta; Raja Grafindo Persada.
Lessnoff, Michael, 1986 The Social Contract, Issues In Political Theory, London: Macmillan Ltd.
Suhelmi, Ahmad, 2001. Pemikiran Politik Barat ; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suwondo, Kutut, 2003. Civil society di Aras Lokal; Perkembangan Hubungan Antara Rakyat dan Negara di pedesaan Jawa, Yogyakarta Timur: Pustaka Percik.
Tim ICCE UIN Jakarta, 2003. Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta Timur: Prenada Media
.Zamroni, MA, DR. 2001. Pendidikan Untuk demokrasi; Tantangan Menuju Civil Society, Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Makalah

Sunyoto Usman, 2001. Seminar ‘Membangun Kemitraan antara Pemerintah dan Masyarakat Madani untuk Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik’, diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, 9 Oktober.

Situs

WWW.Google.Com
DAFTAR RIWAYAT PENULIS

Nama : Novembry Yusuf Simanjuntak
Tempat/Tanggal Lahir : Pematang Siantar, 19 November 1985
Nim : 030906069
Status : Mahasiswa Departemen Ilmu
Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera-Utara


Nama : Rudi Salam Sinaga
Nim : 030906082
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 9 Februari 1984
Status : Mahasiswa Departemen Ilmu
Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera-Utara

Telp : 081376883177
www.rudisalams.wordpress.com
Email : rudi_fisipusu@yahoo.co.id
Email : rudi_fisipol@plasa.com



[1] Kutut Suwondo, Civil society di Aras Lokal; Perkembangan Hubungan Antara Rakyat dan Negara di pedesaan Jawa, Yogyakarta Timur: Pustaka Percik, 2003, Hal.xxi
[2] Dalam hal ini Thomas Hobbes menyebutnya sebagai manusia yang memangsa sesama atau Homo Homoni Lupus
[3] Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat ; Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan kKekuasaan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, Hal. 191
[4] Ibid., Hal. 196
[5] Hobbes menyebut negara seperti itu sebagai negara Leviatan. Leviatan maksudanya adalah monster besar yang menakutkan.
[6] Michael Lessnoff, The Social Contract, Issues In Political Theory, London: Macmiillan Ltd. 1986, Hal. 50.
[7] Op Cit., Ahmad Suhelmi, Hal. 199
[8] Konsep yang merupakan respon dari keinginan untuk menciptakan warga negara sebagai integral negara yang mempunyai andil dalam setiap perkembangan dan kemajuan negara (state)
[9] Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Azasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta Timur: Prenada Media, 2003, Hal. 243
[10] Ibid., Hal. 244
[11] lebih lanjut ia membedakan masyarakat borjuis dengan masyarakat proletar. Atau dengan kata lain masyarakat yagn mengeksploitasi dan masyarakat yang dieksploitasi. Kelas borjuis dapat mengeksploitasi kelas proletar karena mereka memiliki alat produksi. Pada akhirnya akan terjadi perjuangan kelas yang dilakukan oleh kelas proletar untuk menggantikan kelas borjuis dengan revolusi. Sehinnga akan tercipta masyarakat tanpa kelas.
[12] Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformsi.Jakarta; Raja Grafindo Persada, 1999, Hal. 6
[13] Makalah Sunyoto Usman pada seminar ‘Membangun Kemitraan antara Pemerintah dan Masyarakat Madani untuk Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik’, diselenggarakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, 9 Oktober 2001, diakses dari www.google.com, tanggal 3 April 2007


[14] Lawan dari konsep ini adalah Gesselchaft
[15] Budiman, Arief, State and Civil Society, The Publications Officer, Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, Clayton, Victoria, 1990, pp. 5-9

[16] Op.Cit., Sunyoto Usman
[17] Op. Cit., Tim ICEE UIN Jakarta, Hal. 247-247
[18] DR.Zamroni, MA, Pendidikan Untuk demokrasi; Tantangan Menuju Civil Society, Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2001, Hal. 23